Aktivitas Paralayang Dekat Pura Gunung Payung Tuai Protes, PHDI Bali: Jangan Gadaikan Kesucian Demi Wisata

KABARBALI.ID, DENPASAR – Munculnya kembali aktivitas paralayang di sekitar kawasan suci Pura Gunung Payung, Badung, memicu keprihatinan dari berbagai kalangan masyarakat Hindu di Bali. Kegiatan tersebut dinilai berpotensi mencederai kesucian pura, yang selama ini dijunjung tinggi sebagai ruang sakral dan spiritual bagi umat Hindu.

Menanggapi hal ini, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, I Nyoman Kenak, didampingi Sekretaris PHDI, I Putu Wirata Dwikora, SH, MH, menyampaikan pandangan kritisnya terhadap aktivitas wisata yang dianggap melewati batas.

> “Kegiatan paralayang dekat pura seperti itu dapat memunculkan kegaduhan spiritual. Pemerintah perlu mempertimbangkan penetapan zona larangan terbang, khususnya di kawasan suci,” ujar Kenak, Senin (4/8/2025).

Ia menegaskan pentingnya harmoni antara pembangunan dan budaya, di mana pengembangan pariwisata tidak boleh mengorbankan nilai-nilai kesucian dan adat istiadat lokal.

Kenak merujuk sejumlah regulasi yang sudah mengatur hal tersebut, seperti:

Perda Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah;

Perda Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 yang menjamin perlindungan terhadap kawasan suci;

Aturan dari Kementerian Perhubungan yang melarang aktivitas penerbangan, termasuk penggunaan drone, di atas tempat ibadah.

“Secara regulasi kita sudah punya dasar yang sangat kuat. Tinggal bagaimana penerapannya. Tidak boleh ada pembiaran jika memang sudah terjadi pelanggaran,” tegasnya.

Lebih lanjut, Kenak juga mengingatkan tentang keberadaan Bhisama Kesucian Pura, pedoman etika dan spiritual yang dikeluarkan oleh PHDI dan telah dijadikan rujukan dalam banyak kasus serupa.

“Bhisama dan regulasi pemerintah sebenarnya sudah sejalan. Persoalannya hanya di pengawasan dan penegakan. Jika kawasan suci terganggu, ya harus ditindak. Pemerintah tidak boleh ragu mengambil langkah tegas,” jelasnya.

Meski mengkritisi, PHDI tidak bersikap anti terhadap pariwisata. Justru sebaliknya, menurut Kenak, pariwisata seharusnya dijalankan dengan prinsip keselarasan, penghormatan terhadap budaya lokal, dan spiritualitas.

“Bukan soal pro atau anti wisata. Ini soal menempatkan nilai kesucian sesuai porsinya. Kalau pura saja terganggu, lantas di mana lagi kita bisa bicara tentang Bali yang spiritual?” pungkasnya. (Kab).

kabar Lainnya