
KABARBALI.ID, KLUNGKUNG – Di tengah gempita popularitas gamelan Bali seperti baleganjur dan gong kebyar, Desa Tangkas, Klungkung menyimpan kekayaan warisan musik sakral yang tak banyak dikenal publik, yakni gamelan bebonangan. Kesenian ini merupakan salah satu bentuk orkestra tradisional yang diyakini menjadi cikal bakal dari gamelan prosesi seperti baleganjur yang kini tersebar luas di Bali.
Gamelan ini ditampilkan dalam kegiatan workshop dan pementasan seni 2025, oleh Dinas Kebudayaan Klungkung, di depan pemedal Agung Klungkung, Rabu (28/5/2025).
Seniman Klungkung, I Dewa Alit Saputra, menuturkan bahwa meskipun tidak seterkenal baleganjur, bebonangan memiliki nilai historis dan musikalitas yang kuat, serta berkembang secara organik di komunitas adat, khususnya di Desa Tangkas.
“Bebonangan Tangkas tidak banyak dikenal, tapi banyak yang paham dengan baleganjur. Kalau ditelusuri lebih dalam, Klungkung justru punya kekuatan seni yang sangat otentik,” kata Dewa Alit, Rabu dihadapan peserta workshop.
Jejak bebonangan diyakini telah muncul sejak abad ke-16, pada masa keemasan Kerajaan Klungkung dibawah kepempimpinan, Raja Dalem Waturenggong. Saat itu, melalui perkawinan politik antara Bali dan Jawa, sejumlah instrumen seni dibawa ke Bali, termasuk bonang dari Jawa yang kemudian bertransformasi menjadi reong dalam gamelan Bali.
“Kreativitas masyarakat Bali mengembangkan karakter musik yang lebih dinamis dan bervariasi dibandingkan pakem Jawa. Ini menjadikan gamelan Bali begitu khas dan penuh energi,” jelasnya.
Menurutnya, jika dilihat dari segi musikalitas, bonang, bebonangan, dan baleganjur memiliki struktur dan warna suara yang saling berdekatan, meskipun dalam praktiknya bebonangan memiliki pola dan fungsi tersendiri.
Sementara itu, pelaku seni tabuh bebonangan, I Putu Agus Darma Jaya (27), sebagai narasumber dalam kegiatan ini, menyebut dari sejumlah literasi yang didapatkannya, keberadaan bebonangan telah tercatat dalam referensi sejarah sejak pemerintahan Raja Warakata Istana Tungga Dewa pada tahun 1016 – 1025 Masehi, melalui istilah bebanjuran, yang kemudian dianggap sebagai cikal bakal baleganjur.
“Fungsi awalnya adalah ritual, terutama saat prosesi seperti melasti dan mepeed. Karena kebutuhan mobilitas saat upacara, instrumen besar dari gong gede dipecah dan diambil bagian-bagian kecilnya. Dari sanalah muncul bentuk gamelan yang bisa dibawa berjalan, termasuk bebonangan,” ujar anak dari Komposer asal Klungkung, I Komang Sukarya yang saat menjabat Kabid Kesenian Disbud Klungkung.
Pemuda 27 tahun ini menambahkan bahwa pola kendangan khas, seperti ‘kendang lanang’ dan ‘tabuh lanangan’, menjadi identitas kuat dari bebonangan Tangkas. Istilah lokal seperti “ngodor” atau “nigtig” juga mencerminkan nuansa organik dan khas dalam gaya tabuh bebonangan.
“Bebonangan tersebar paling banyak ada di Bangli, Gianyar dan Klungkung, namun untuk Klungkung memiliki ciri khas pada transformasi ketukan dari 4/4 menjadi 3/4 secara ritmis dan musikal, sehingga akan terasa berbeda pada tepakan kendangnya” ungkapnya.
Secara filosofis, gamelan bebonangan tidak sekadar instrumen musik, melainkan bentuk pengabdian leluhur dalam berkesenian. Hubungan antara kendang lanang dan wadon misalnya, tidak hanya menjadi penamaan gender, tapi juga representasi dari harmoni, kesatuan, dan dinamika maskulin-feminin dalam kehidupan spiritual masyarakat Bali.
Selain berdiri sebagai ensambel tersendiri, bebonangan juga berfungsi sebagai bagian dari copotan gamelan gong gede, meskipun asal-usul sebenarnya apakah bebonangan merupakan respon dari gong gede atau sebaliknya masih menjadi perdebatan di kalangan seniman dan sejarawan.
Sementara Kadisbud Klungkung I Ketut Suadnyana mengatakan pentingnya pengetahuan mengenai seni tradisi yang diwariskan oleh leluhur terdahulu. Melalui workshop ini pengenalan dilakukan, menjadi bahan telaah dan penelitian kedepan bagi kalangan pelajar termasuk juga pelestariannya.
“Dinas kebudayaan membuka ruang selebar-lebarnya untuk anak muda berkreatifitas utamanya kesenian dalam pelestarian budaya, karena Klungkung tidak kalah hebat dalam melahirkan kekayaan seni tradisi, hanya saja perlu digali lebih dalam dan diberikan ruang untuk berkembang,” katanya.
Dari kegiatan ini diketahui, bahwasannya bebonangan bukan sekadar gamelan. Ini adalah warisan leluhur yang penuh nilai sejarah, musikalitas tinggi, dan relevansi spiritual. Dan sudah saatnya menjadikannya ikon seni khas Klungkung. (Sta/Kab).