Kabarbali. id – Hari ini adalah hari besar bagi Umat Hindu di Bali. Pada Buda Cemeng Wuku Sinta ini, adalah hari Pagerwesi yang diperingati setiap enam bulan sekali (kalender Bali) atau 210 hari sekali.
Pagerwesi disebut sebagai Rerahinan Gumi karena dirayakan oleh semua umat Hindu, tetapi tergantung desa (tempat), kala (waktu), dan patra (keadaan). Sehingga, perayaannya disesuaikan apakah berskala besar ataupun kecil.
Di beberapa daerah di Bali utamanya di Buleleng Pagerwesi adalah hari raya besar dan kadang di sebut Pagerwesi adalah hari raya Galungan di Buleleng.
Bagaimana pelaksanaan dan waktunya ?
Sesuai dengan penanggalan kalender Bali, Pagerwesi dilaksanakan setiap Buda Kliwon Sinta. Setiap 210 hari sekali. Yang berdekatan atau berhimpitan waktu dengan hari raya Saraswati.
yang mana, Saraswati jatuh pada wuku paling akhir, yakni Watugunung. Sedangkan Pagerwesi jatuh pada wuku paling pertama, yakni Shinta. Dengan jarak 4 hari saja.
Hari raya Saraswati dikenal sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan dari Sang Hyang Aji Saraswati. Sehingga, hari raya Pagerwesi dan Saraswati memiliki hubungan yang erat, yakni tentang ilmu pengetahuan.
Kalau dirunut sejumlah ritual juga dipersembahkan setelah hari Raya Saraswati (Sabtu) adalah; esok harinya adalah Minggu dikenal dengan Banyupinaruh, Senin dikenal dengan Soma Ribek, kemudian Selasa adalah hari Sabuh Mas dan kemudian Rabu adalah Pagerwesi.
Pagerwesi berasal dari kata “pager” atau pageh yang berarti pagar atau kuat atau perlindungan dan “wesi” berarti besi yang merupakan bahan kuat, jadi saat Hari raya Pagerwesi tersebut bertujuan untuk memagari diri (magehang awak) dengan kuat agar jangan mendapatkan gangguan atau rusak.
Makna filosofis dalam perayaan hari raya Pagerwesi ini adalah sebagai simbol keteguhan iman, memagari diri dengan tuntunan ilmu pengetahuan, sehingga manusia tersebut tidak mengalami kegelapan atau Awidya.
Yang dimuliakan dan dipuja adalah Ida Sanghyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sanghyang Pramesti Guru. Adalah guru dari alam semesta yang dapat membimbing manusia ke jalan yang benar dalam memahami pengetahuan hidup.
Sang Hyang Pramesti Guru adalah sebutan lain untuk Dewa Siwa, dalam Tri Murti dewa Siwa adalah sebagai pelebur, melebur segala sifat-sifat buruk
Pelaksanaan mulai dari sanggah atau Merajan di pekarangan rumah, hingga ke pura-pura besar lainnya seperti pura Kahyangan Jagat, sedangkan untuk di lingkungan desa pakraman, umat juga melakukan persembahyangan pura Kahyangan Tiga.
Adanya pelaksanaan upacara dengan konsep desa dresta dan loka dresta (kebiasan yang berlaku pada suatu wilayah). Konsep ini kemudian membedakan perayaan hari suci Pagerwesi antara daerah Kabupaten Buleleng dengan daerah lain.
Yakni dengan adanya acara atau upacara yang sering disebut ritual. Dalam pelaksanaannya di daerah Kabupaten Buleleng, Pagerwesi kemudian dilakukan seperti hari suci Galungan.
Pagerwesi dilaksanakan lebih besar. Selain sembahyang keliling ke pura-pura dan pekarangan rumah, ada juga tradisi munjung ke makam keluarga di setra desa adat masing-masing.
Banten Punjung merupakan sesajen nasi kuning, aneka lauk pauk, dan buah. Setelah dihaturkan, sesajen ini akan disantap bersama dengan kerabat. Tradisi ini sudah dilaksanakan secara turun-temurun, yang bertujuan untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal, tetapi belum diaben (dibakar).
Krama Hindu Buleleng meyakini bahwa hari suci Pagerwesi adalah otonan jagat, sama dengan hari suci Galungan.
Bahkan jatuhnya sama-sama pada Buda Kliwon. Sebab untuk Galungan Buda Kliwon Dungulan, dan Pagerwesi jatuh pada Buda Kliwon Sinta.
“Perbedaan itu indah, dan intinya sama untuk mencapai tujuan akhir agama Hindu yaitu “Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma”.
Yang artinya untuk mencapai kebahagian lahir dan batin berdasarkan ajaran kebenaran (ajaran Dharma). (kab).