Pemerintah Jangan Grasa-Grusu, KNPI Bali: Pilih Tajen Atau Tabuh Rah ?

Ketua DPD KNPI Bali, Anak Agung Gde Utama Indra Prayoga, SH., MH., didampingi Dr. Putu Eka Sura Adnyana, S.S., S.Ag., M.Hum., M.Ag. selaku Ketua Bidang Keagamaan, Tradisi, dan Budaya KNPI Bali

KABARBALI.ID, DENPASAR – Polemik soal wacana legalisasi tajen (sabung ayam) kembali menuai respons dari berbagai pihak. Kali ini, DPD KNPI Bali angkat suara dan menegaskan pentingnya membedakan antara tajen dan tabuh rah dalam konteks budaya dan agama Hindu di Bali.

Ketua DPD KNPI Bali, Anak Agung Gde Utama Indra Prayoga, SH., MH., didampingi Dr. Putu Eka Sura Adnyana, S.S., S.Ag., M.Hum., M.Ag. selaku Ketua Bidang Keagamaan, Tradisi, dan Budaya KNPI Bali, menyampaikan pandangannya soal wacana tersebut.

“Tidak elok rasanya jika harus grasa-grusu dalam melegalkan tajen. Jika memang ada niatan legalisasi, sebaiknya dikaji lebih dulu oleh eksekutif maupun legislatif. Harus ada kajian akademik yang konkret dan jelas,” tegas Gung Indra, Senin (23/6/2025).

Menurutnya, masyarakat harus memahami perbedaan tajen dan tabuh rah.

“Tabuh rah adalah bagian dari upacara keagamaan Hindu Bali yang bertujuan menetralisir kekuatan negatif (bhuta kala) dalam proses yadnya. Sedangkan tajen, yang sering dilakukan sebagai hiburan dan mengandung unsur taruhan, adalah hal berbeda. Tajen fokus pada kemenangan dan uang, bukan pada makna sakral yadnya,” jelasnya.

KNPI Bali pun menyoroti fenomena tajen saat ini yang berkembang liar, seperti “Tajen Derbi” lintas kabupaten hingga provinsi, yang lebih menonjolkan aspek hiburan dan judi.

“Kita bicara ini bukan untuk melarang adat, tapi untuk menjaga Bali dari citra negatif perjudian. Harus ada regulasi yang jelas dan jangka panjang jika ingin masyarakat terlindungi,” lanjut Gung Indra.

Sementara itu, Dr. Eka Sura menambahkan bahwa jika tajen dilegalkan tanpa batas, itu sama saja dengan melegalkan perjudian yang jelas-jelas bertentangan dengan hukum negara dan ajaran Hindu.

Ia merujuk dua sloka dari Manusmṛti yang tegas melarang praktik perjudian:

Dyūtaṁ pāpam adharmaś ca krūrānṛtam asatyataḥ, tasmād dyūtam na seveta viśeṣeṇa dvijo naraḥ — Judi adalah dosa, bertentangan dengan dharma, penuh kekejaman dan kepalsuan. Karena itu, masyarakat tidak boleh terlibat dalam perjudian.”

Dyūtaṁ samāhvayaṁ caiva rājā daṇḍena vārayet — Raja (pemimpin) harus melarang perjudian karena dalam perjudian tidak ada kebenaran, baik yang menang maupun yang kalah.”

Menurutnya, kutipan tersebut sudah sangat jelas memberikan batas antara budaya suci dan praktik duniawi.

“Tabuh rah hanya memiliki legitimasi bila dilakukan dalam konteks yadnya. Di luar itu, ia menjadi tajen, bentuk hiburan dan perjudian yang tak sejalan dengan dharma dan hukum negara. Maka tidak pantas untuk dilegalkan,” tutupnya. (Kri/Kab).

kabar Lainnya