Gianyar, kabarbali.id – Bertepatan dengan hari Tilem, Sasih Kasa, Warga Desa Adat Bukian, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali menggelar tradisi unik, yang disebut tradisi ngasa. Tradisi ngasa digelar setiap dua tahun sekali pada tahun genap, diwarisi secara turun temurun.
Sejak pagi warga setempat berduyun-duyun datang ke setra (kuburan) Pura Dalem Bukian, dengan membawa sesaji berupa banten gebogan lengkap dengan sarana berupa uang tunai, perhiasan, kain hingga sertifikat tanah ikut disertakan.
Bendesa Desa Adat Bukian, I Made Suartana menjelaskan Setiap keluarga macem-macem bawaannya. Ada uang, ada perhiasan, ada juga sertifikat tanah.
“Ini kami laksanakan secara turun temurun, dan bebas krama bawa apa sebagai hasil rezeki keluarga untuk disampaikan kepada leluhur dengan sembahyang khusus,” ungkap Suarnata, disela-sela proses upacara Minggu (4/8/2024).
Disebutkan, pelaksanaannya bahkan lebih meriah dari hari raya Galungan-Kuningan. Ditandai dengan umat menghaturkan sesaji Darpana dan Punjung di setra desa adat Bukian. Bagi krama yang memiliki jenazah di setra yang belum diabenkan, maka upacaranya dilaksanakan di atas pekuburan.
“Krama yang memiliki keluarga meninggal dan telah diabenkan, upacara pitranya dilakukan di bagian hulu setra,” imbuhnya.
Tradisi ini dilaksanakan oleh 136 krama ayah dengan total 740 krama mipil. Menurutnya jika ada krama yang tidak bisa laksanakan di pura, tradisi ini dilaksanakan di depan merajan masing-masing.
Dijelaskan untuk rangkaian tradisi Ngasa, krama Desa terlebih dahulu melaksanakan upacara mecaru di Pura Mrajapati. Untuk di Pura Dalem dilaksanakan piodalan dengan sarana banten bebangkit dan sasaji lainnya.
“Sebesar apapun upacara di desa adat Bukian, hanya digelar satu hari mulai dari pagi langsung nyineb di malam hari dan tidak boleh lebih dari sehari,” jelasnya.
Tidak hanya upacara bahkan pembangunan juga wajib dilaksanakan dalam sehari wajib selesai.
Salah satu warga Ketut Nada mengatakan, tradisi ini tidak pernah tidak digelar. Krama tetap menjaga kelestarian tradisi ini sampai sekarang.
” Saat ini terjadi pergeseran dari sisi material banten yang dihaturkan, dulu sesajennya spesial putih dan kuning. Menggunakan bunga juga putih kuning, sekarang lebih beragam karena perkembangan zaman Menggunakan perhiasan emas,” jelasnya.
Pantangan pada tradisi ini tidak diperbolehkan menggunakan gula dan hanya menggunakan tebu utuh. “Tari-tarian juga tidak boleh, hanya gamelan saja yang di bunyikan” pungkasnya. (art/kab).