Kabarbali.id – Anggara Paing Watugunung, Selasa (9/7/2024) disebut sebagai hari paid-paidan. Hari Paid-Paidan, juga dapat bermaknai sebagai unsur magis yang berpotensi menggagalkan umat untuk menerima ilmu.
Sebelum rahina ini, diceritakan Bethara Wisnu menantang Sang Watugunung untuk berperang, dan dikisahkan dalam peperangan tersebut Bethara Wisnu berubah menjadi seekor Kurma, maka rubuhlah Sang Watugunung dan jatuh ke bumi pada hari, Minggu – Kliwon – Wuku Watugunung, disebutlah hari “Watugunung Runtuh” atau Kajeng Kliwon Pemelas Tali.
Pada keesokan harinya, hari ini yaitu pada hari Senin Umanis Wuku Watugunung, disebut hari ” Candung Watang “, karena Sang Watugunung meninggal dunia pada hari itu.
Hal ini termuat dalam Lontar Medang Kemulan.
Dan pada Rahina Paid Paidan, tetua di Bali biasanya melarang untuk memanjat pepohonan atau menaiki bangunan tinggi dikarenakan konon akan terjatuh.
Paid-paidan juga rangkaian Hari Saraswati. Rangkaian hari-hari ini memang jarang terdengar, karena hari-hari ini mengandung makna filosofis yang juga jarang diketahui. Juga, di hari-hari sebelum Hari Raya Saraswati ini, masyarakat tidak melakukan suatu kegiatan khusus.
Setelah paid-paidan, di hari Rabu yang disebut Buda Urip, Watugunung dihidupkan kembali. Maknanya yaitu kebangkitan kesadaran buddhi dalam diri manusia untuk menerima ilmu.
Pategtegan yang jatuh di hari Kamis, merupakan perenungan batin secara mendalam untuk mencapai ketetapan hati setelah buddhi telah bangkit dan hidup saat Buda Urip.
Hari Jumat disebut Pangredanan. Di sini Watugunung menyembah Dewa Siwa. Dewa Siwa juga disebut Bhatara Guru, guru dari semua guru.
Semua rangkaian hari ini, bermuara pada puncaknya yaitu Hari Raya Saraswati. Sementara, hari yang jatuh setelahnya, yakni Banyu Pinaruh, merupakan hari saat umat melukat setelah menerima pengetahuan tersebut.
Minggu Banyu Pinaruh itu ibaratkan kita melukat setelah mendapatkan ilmu pengetahuan. Atau istilahnya wisuda. (pur/kab).