
KABARBALI.ID – Setiap enam bulan sekali (210) hari, tepatnya pada hari Saniscara Umanis wuku Watugunung, umat Hindu menggelar hari raya Saraswati sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan. Terlebih bagi kaum pelajar, dan penggelut dunia pendidikan.
Setiap sekolah di Bali pada hari raya Saraswati akan disibukkan dengan persembahyangan yang juga sebelumnya diisi berbagai acara pembuatan sarana oleh pelajar disetiap kelasnya.
Di sekolah, di pura, di rumah maupun di perkantoran semua buku, lontar, pustaka-pustaka dan alat tulis di taruh pada suatu tempat untuk diupacarai.
Hari Raya Saraswati yaitu hari Pawedalan Sang Hyang Aji Saraswati, jatuh pada tiap-tiap hari Saniscara Umanis wuku Watugunung. Pada hari ini kita umat Hindu merayakan hari yang penting itu.
Dalam legenda digambarkan bahwa Saraswati adalah Saktinya Dewa Brahma. Saraswati adalah Dewi pelindung/ pelimpah pengetahuan, kesadaran (widya), dan sastra. Berkat anugerah dewi Saraswati, kita menjadi manusia yang beradab dan berkebudayaan.
Beliau disimbolkan sebagai seorang dewi yang duduk diatas teratai dengan berwahanakan se-ekor angsa (Hamsa) atau seekor merak, berlengan empat dengan membawa sitar/veena dan ganatri di kedua tangan kanan, tangan kiri membawa pustaka/kitab dan tangan kiri satunya ikut memainkan gitar membawa sitar/veena dan ganatri di kedua tangan kanan, tangan kin membawa pustaka/kitab dan tangan kiri satunya ikut memainkan veena atau bermudra memberkahi.
Makna dan simbol-simbol ini adalah :
Upacara pada hari Saraswati, pustaka-pustaka, lontar-lontar, buku-buku dan alat-alat tulis menulis yang mengandung ajaran atau berguna untuk ajaran-ajaran agama, kesusilaan dan sebagainya, dibersihkan, dikumpulkan dan diatur pada suatu tempat, di pura, di pemerajan atau di dalam bilik untuk diupacarai
Widhi widhana (bebanten = sesajen) terdiri dari peras daksina, bebanten dan sesayutSaraswati, rayunan putih kuning serta canang-canang, pasepan, tepung tawar, bunga, sesangku (samba = gelas), air suci bersih dan bija (beras) kuning.
Menurut Ida Pandita Mpu Acharya Nanda dalam sebuah dharma wacanyanya di Kanal Youtube Budayanya Bali, Saraswati sejatinya adalah bratha, bukan perayaan. Seperti halnya Siwaratri atau Nyepi, Saraswati dilaksanakan dengan melakukan tapa beratha yoga semadhi.
Dalam memuja Dewi Saraswati, kebiasaan umat Hindu menghindari beberapa pantangan yang telah dilakukan secara turun-temurun.
Apabila dilanggar, niscaya hasilnya tidak mendapatkan kerta wara Nugraha Sanghyang Aji Saraswati. Beberapa pantangan tersebut antara lain, upakara pemujaan Saraswati sebaiknya dilakukan pada pagi hari atau sebelum tengah hari.
Sebelum upacara Saraswati dan sebelum lewat tengah hari, tidak diperkenankan membaca dan atau menulis mantra dari kesusastraan.
Bagi umat yang melaksanakan brata Saraswati secara penuh, tidak diperkenankan membaca dan menulis selama 24 jam dan dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan “pangweruh” agar senantiasa dilandasi oleh hati yang jernih serta pikiran “astiti bakti” ke hadapan Hyang Saraswati.
Termasuk juga merawat perpustakaan mulai segala jenis buku maupun lontar-lontar yang dimiliki. Hal tersebut tertuang dalam Lontar Sundarigama yang menjelaskan bahwa pada saat Hari Saraswati berlangsung, dikatakan tidak boleh belajar karena pada hari itu hanya digunakan untuk mengupacarai sumber pengetahuan seperti buku atau lontar. (pur/kab).