
KABARBALI.ID – Industri Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) di Bali mengalami penurunan drastis akibat kebijakan efisiensi anggaran pemerintah. Pemangkasan dana perjalanan dinas dan penyelenggaraan acara di hotel berbintang berdampak signifikan terhadap okupansi hotel dan sektor pariwisata secara keseluruhan.
Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, mengungkapkan bahwa bisnis MICE di Bali mengalami penurunan hingga 15% akibat kebijakan ini. Menurutnya, mayoritas wisatawan yang datang ke Bali saat ini berasal dari segmen middle-low, yang lebih memilih menginap di villa pribadi, guest house, atau apartemen.
“Wisatawan yang datang ke Bali masih normal, sekitar 16-17 ribu per hari. Namun, banyak dari mereka tidak memilih hotel berbintang. Hal ini sangat berdampak pada sektor MICE yang selama ini bergantung pada anggaran pemerintah,” ujar Rai, dikutip dari CNBC Indonesia.
Kondisi serupa juga terjadi di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Hotel yang selama ini mengandalkan acara pemerintahan sebagai pemasukan utama kini mengalami kesulitan besar akibat hilangnya anggaran MICE.
Hasil survei PHRI bersama Horwath HTL yang melibatkan 726 responden dari 717 hotel di 30 provinsi mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan:
Dampak dari kebijakan ini tidak hanya terbatas pada tingkat hunian hotel, tetapi juga berdampak pada tenaga kerja di sektor perhotelan. Hasil survei menunjukkan bahwa 88% pengusaha hotel mempertimbangkan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat berkurangnya pendapatan dari sektor MICE.
“Jika meeting dan acara pemerintahan terus dibatalkan, maka otomatis bidang MICE akan mati, dan pegawai di sektor ini akan terkena dampaknya. Hotel juga harus melakukan efisiensi, yang bisa berujung pada PHK,” ujar Rai.
Namun, ia menambahkan bahwa PHK masih dalam tahap perencanaan dan belum sepenuhnya dilakukan. “Kami masih berusaha menahan diri, tetapi jika kondisi ini terus berlanjut, pengurangan tenaga kerja tidak bisa dihindari,” tambahnya.
PHRI berharap pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan efisiensi anggaran yang berdampak besar terhadap sektor perhotelan dan pariwisata. Rai menilai bahwa hotel dan sektor terkait sudah berupaya melakukan berbagai strategi promosi, termasuk bekerja sama dengan wholesaler dan travel agent untuk menggenjot okupansi.
“Mungkin anggaran MICE bisa dikurangi, tetapi jangan dihilangkan sepenuhnya. Karena selain hotel, sektor UMKM yang bergantung pada acara di hotel juga akan terdampak,” pungkasnya.
Dampak kebijakan ini menjadi perhatian serius, mengingat Bali adalah salah satu destinasi utama bagi sektor MICE nasional dan internasional. Jika kebijakan ini tidak segera dievaluasi, maka industri perhotelan dan pariwisata di Bali bisa semakin terpuruk. (Kan/Kab).