
KABARBALI.ID, KLUNGKUNG – Suasana di Banjar Sental Kangin, Desa Adat Ped, Nusa Penida, Klungkung, mendadak mencekam pada Minggu, 30 Maret 2025, sehari setelah Hari Raya Nyepi atau yang dikenal sebagai Ngembak Geni.
Keributan terjadi akibat ketegangan antara warga dengan kelompok yang dikenai sanksi adat kesepekang dan kanorayang.
Ketegangan berawal ketika seorang warga berinisial KP, yang terkena sanksi kesepekang dan kanorayang, melintas di depan posko siskamling dengan sepeda motor sambil menaikkan kakinya ke setang dan menggeber gas dengan keras.
Tindakan ini memicu amarah warga yang tengah berkumpul di posko. Tidak lama berselang, KP kembali bersama anaknya, KS, yang merupakan anggota TNI. KS yang merasa tidak terima ayahnya diteriaki, menantang warga hingga terjadi dorong-dorongan yang hampir berujung bentrokan.
Kelian Desa Adat Sental Kangin, Nyoman Supaya, menyampaikan bahwa situasi semakin memanas setelah kelompok lain berjumlah tiga orang datang ke lokasi.
Warga yang emosi kemudian membunyikan kulkul bulus—kentongan tradisional Bali yang menjadi tanda bahaya—sehingga massa berkumpul dalam jumlah besar. Beruntung, aparat keamanan dari Polsek Nusa Penida dan Koramil setempat segera turun tangan untuk meredam situasi serta mengevakuasi pihak-pihak yang terlibat agar tidak terjadi konflik fisik yang lebih besar.
Latar Belakang Sanksi Kasepekang dan Kanorayang
Sanksi kesepekang dan kanorayang dikenakan terhadap tujuh kepala keluarga (KK) di Banjar Sental Kangin karena dianggap melanggar keputusan paruman desa adat terkait penataan kawasan pesisir. Konflik ini bermula dari perubahan ekonomi masyarakat yang sebelumnya menggantungkan hidup pada budidaya rumput laut dan beralih ke sektor pariwisata. Banjar Adat Sental Kangin pun berupaya menata kawasan pantai demi meningkatkan kesejahteraan warga secara merata.
Pada November 2022, paruman adat digelar untuk membahas penataan kawasan pesisir yang merupakan tanah negara. Dalam musyawarah tersebut, disepakati bahwa wilayah tersebut akan dikembangkan menjadi kawasan wisata demi kepentingan bersama. Namun, kelompok yang dikenai sanksi dianggap tidak mematuhi keputusan adat dan tetap menguasai lahan secara sepihak tanpa berbagi dengan warga lainnya.
Nyoman Supaya menegaskan bahwa keputusan menjatuhkan sanksi kesepekang dan kanorayang sudah melalui proses panjang serta berbagai upaya penyelesaian secara adat. Namun, pihak yang bersangkutan justru menentang keputusan banjar dan semakin memicu ketegangan di masyarakat.
Hukuman Adat sebagai Bentuk Perlindungan Nilai Tradisional
Sanksi kesepekang dan kanorayang merupakan bentuk hukum adat Bali yang diterapkan kepada warga yang melanggar aturan adat atau tidak patuh pada kesepakatan paruman desa. Hukuman ini mengakibatkan mereka dikeluarkan dari keanggotaan adat, dilarang menggunakan fasilitas desa adat, serta diisolasi secara sosial oleh warga lainnya.
“Kami sudah memberikan kesempatan bagi mereka untuk kembali ke jalan adat, tetapi mereka justru semakin menantang keputusan banjar. Tidak ada pilihan lain bagi warga adat selain mengenakan sanksi sesuai awig-awig yang berlaku,” tegas Nyoman Supaya. (Kab).