Kabarbali.id – Isitilah uncal balung sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Hindu khususnya di Bali. Uncal balung dimaknai sebagai hari yang tidak baik untuk memulai upacara yang berhubungan dengan hal kebaikan. Atau membangun dan melaksanakan upacara, baik itu manusa yadnya, pitra yadnya maupun dewa yadnya, kecuali upacara odalan dan terkait dengan kelahiran manusia seperti nyambutin, ngotonin, dan lainnya.
Masanya adalah berlangsung dari Buda Pon Sungsang sampai dengan Buda Kliwon Pahang.
Masyarakat hanya mengikuti saja petunjuk dari orang tua atau orang yang mengerti akan hal tersebut, tanpa pernah repot untuk mencari jawabannya.
Di beberapa daerah sudah mulai ada hal yang sangat kontradiktif dengan banyaknya masyarakat melaksanakan upacara perkawinan, ngaben dan upacara lainnya yang sifatnya “nangun karya” pada saat masa uncal balung. Artinya semua itu sebenarnya sudah menyimpang dari sastra agama.
Ada juga sebagian masyarakat yang mencari pembenaran dengan berlindung pada desa kala patra dari masing-masing wilayah. Tiap-tiap kelompok masyarakat memiliki dresta tersendiri, sehingga kerapkali dikatakan agama Hindu Bali bertengger pada desa kala patra berlandaskan Weda dan diukur dengan rasa.
Filosofinya, kurun waktu dari Buda Pon Sungsang sampai dengan Buda Kliwon Pahang adalah masih rangkaian rerahinan Galungan. Seperti yang sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya bahwa Galungan merupakan rerainan dari Sang Prabu, sehingga dalam konteks ‘konstitusi’ harus tunduk terhadap keputusan Sang Prabu.
Pelbagai pura yang ada merupakan sistem yang dimiliki oleh Sang Prabu. Oleh sebab itu, diharapkan pada kurun waktu itu menjalankan tapa brata yoga samadi sampai akhirnya dilebar atau ditutup pada dina Buda Kliwon Pahang yang disebut dengan Buda Kliwon Pegatwakan.
Kalau di tinjau dari cerita bahwa perayaan Galungan tak terlepas dari sejarah Sri Jaya Kesunu yang beryoga samadi di Pura Dalem Puri untuk mencari jawaban atas situasi prihatin kerajaan saat itu, dimana raja berumur pendek, dan rakyat yang tak sejahtera. Oleh sebab itu, Sri Jaya Kesunu menjalankan laku prihatin, sehingga Hyang Betari Durga berkenan dan memberikan jawaban atas segala keprihatinan tersebut, dimana rakyat dan kerajaan mesti melaksanakan Galungan dengan benar, karena sebelumnya perayaan Galungan belum dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Demikian juga dengan mitologi Mayadenawa bahwa Galungan diawali dengan keprihatinan akibat dari perilaku dari Sang Raja Mayadenawa yang menganggap dirinya adalah sesuhunan manusia atau menganggap diri sebagai penguasa manusia dan makhluk hidup, sehingga dia melarang para pertapa untuk melakukan tapa brata yoga samadi.
Uncal balung sebagai bulan pendalaman batin (rohani) untuk mencapai kesucian jasmani rohani mesti perlu dipahami oleh umat. Lalu ditradisikan sebagai tradisi pendalaman spiritual, agar terhindar dari pengaruh negatif dari Sang Kala Tiga. Dan, untuk mendapatkan kekuatan para dewa karena pada masa uncal balung kekuatan rwa bhineda sedang berada di antara manusia yakni kekuatan Dewata sebagai unsur positif dan kekuatan Kala yang berwujud Sang Kala Tiga Galungan sebagai unsur negatif.
Kalau dilihat dari tatwanya adalah pengendalian diri dalam hidup ini untuk mencapai kesucian lahir dan batin, yang lebih sering disebut dengan kemenangan dharma melawan adharma. Etikanya, Sang Prabu melakukan tapa brata yoga semadi yang diiringi oleh para pendetanya serta masyarakat yang sudah masuk ke jenjang spiritual. Semua umat Hindu Bali harus melakukan usaha pengendalian diri selama masa uncal balung serta upacaranya. Semua kegiatan upacara pada masa Uncal Balung mempunyai keterkaitan upacara satu dengan lainnya mulai dari Sugihan sampai Buda Kliwon Pegatwakan. (red – kab).