
KABARBALI.ID, BULELENG – Tradisi Nyakan Diwang masih terus dilestarikan oleh masyarakat di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Tradisi unik ini dilakukan sehari setelah Hari Raya Nyepi (Ngembak Geni) dengan memasak di luar rumah, tepatnya di pinggir jalan atau di depan rumah masing-masing. Tradisi ini bukan sekadar kegiatan kuliner, melainkan memiliki makna mendalam dalam kehidupan masyarakat Bali. Seperti halnya pada hari ngembak geni, Minggu (30/3/2025).
Secara harfiah, Nyakan Diwang berarti “memasak di luar rumah.” Kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk penyucian dapur dan lingkungan rumah setelah seharian penuh melaksanakan Catur Brata Penyepian. Selain itu, tradisi ini bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan antarwarga serta menghidupkan kembali semangat kebersamaan.
“Tradisi ini merupakan simbol kebersamaan dan kekerabatan masyarakat. Selain membersihkan dapur dari keregedan (kotoran), Nyakan Diwang juga menjadi ajang untuk saling memaafkan dan mempererat hubungan antarwarga,” kata warga Banjar Tegeha, Tudemade.
Pada pagi hari setelah Nyepi, masyarakat di beberapa desa seperti Desa Banjar, Desa Banjar Tegeha, Desa Dencarik, Desa Kayuputih, dan Desa Banyuatis mulai keluar rumah dan menyiapkan peralatan masak. Mereka membangun tungku sederhana dari batu bata atau tanah liat di pinggir jalan dan mulai memasak menggunakan kayu bakar atau bambu kering.
Beberapa makanan yang biasa dimasak antara lain nasi, lauk-pauk sederhana, serta air panas untuk keperluan minum. Setelah masakan siap, mereka berkumpul untuk makan bersama dengan anggota keluarga dan tetangga. Tradisi ini menghadirkan suasana penuh kehangatan dan kebersamaan.
“Yang menarik dalam kegiatan ini, seluruh warga yang sedang melaksanakan Nyakan Diwang saling mengunjungi satu sama lain, sehingga semakin mempererat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan,” tambahnya.
Dalam ajaran Hindu Bali, setiap tradisi memiliki makna spiritual yang dalam, termasuk Nyakan Diwang. Secara filosofis, tradisi ini mencerminkan Tri Hita Karana, yaitu konsep keseimbangan dalam hubungan manusia dengan Tuhan (Parhyangan), sesama manusia (Pawongan), dan lingkungan (Palemahan).
Tatwa (Nilai Keagamaan): Bentuk rasa syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa setelah menjalankan Catur Brata Penyepian.
Nilai Sosial: Mempererat hubungan antarkeluarga, tetangga, dan masyarakat desa.
Nilai Estetika: Suasana meriah yang diciptakan dari kebersamaan warga.
Nilai Ekologis: Mendorong penggunaan bahan organik dan ramah lingkungan.
Seiring perkembangan zaman, masyarakat Bali terus berupaya melestarikan tradisi ini. Pemerintah daerah dan tokoh adat berperan dalam memastikan bahwa tradisi ini tetap diwariskan kepada generasi muda.
“Nyakan Diwang bukan sekadar memasak di luar rumah, tetapi juga merupakan bagian dari identitas budaya masyarakat Bali. Kita harus menjaganya agar tidak punah,” tegas seorang tokoh masyarakat Desa Banjar.
Dengan semangat gotong royong dan kebersamaan, Nyakan Diwang tetap menjadi warisan budaya yang terus hidup dan berkembang di tengah modernisasi. Tradisi ini tidak hanya menjadi bentuk penghormatan terhadap leluhur, tetapi juga bagian dari upaya pelestarian adat dan budaya Bali yang kaya akan nilai-nilai luhur. (Kar/Kab).